Sabtu, 25 April 2015

ECO OFFICE






Program "Eco Office" merupakan program yang melibatkan setiap personil kantor untuk berperan aktif dalam kegiatan mewujudkan lingkungan kantor yang bersih dan efisien dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan energi serta berperilaku yang berpihak pada upaya pelestarian lingkungan secara berkelanjutan.





Konsep "Eco Office" diambil dari dua kata dalam bahasa inggris yang mempunyai definisi berbeda, yaitu : 'Eco' dan 'Office'. Eco diambil dari kata ekologi (ecology) yang merupakan ilmu yang mempelajari mengenai hubungan timbal balik antara organisme satu dengan yang lain serta dengan lingkungannya. Sedangkan office mempunyai definisi sebuah institusi pemerintah maupun swasta tempat berkumpul dan beraktivitas untuk menghasilkan sesuatu sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia.




5 Gagasan untuk Kantor Ramah Lingkungan
Aktivitas kantor—yang umum kita jumpai—temui cenderung “tidak memihak” lingkungan. Saat mencetak dokumen digital menjadi proposal, fotokopi, pemakaian listrik untuk perangkat-perangkat elektronik, dan lain sebagainya. Jika diteruskan, maka kantor dapat menjadi salah satu kontributor global warming yang signifikan.






Oleh karenanya, penting bagi Anda untuk menciptakan konsep kantor yang ramah lingkungan. Kantor besar atau kecil sekalipun, pasti ada manfaatnya. Baik untuk individu yang mengerjakan, organisasi perusahaan, dan tentunya bagi dunia secara keseluruhan.

Ada lima gagasan yang setidaknya bisa membantu kantor Anda tetap “hijau”.
“Hijaukan” Suasana

Buatlah kantor Anda “sehijau” mungkin. Caranya, dengan menanam pohon, di luar maupun di dalam. Dengan menanam tanaman di dalam ruangan, Anda akan membantu pengurangan polusi dalam ruangan. Sedangkan, untuk penanaman pohon di luar kantor bisa menjadi sarana untuk pengomposan sampah, daur ulang, dan mengatasi polusi udara.
Perlengkapan Organik

Belilah alat-alat atau perlengkapan kantor yang bisa didaur ulang, bukan hanya barang-barang yang produsennya memiliki program green living. Juga, buatlah budaya membeli senyawa organik yang mudah menguap ketimbang memilih untuk produk pembersih yang berbahaya. Furnitur Anda, karpet, cat harus terdiri dari bahan organik.



Hemat Listrik

Bekerjalah dengan penggunaan energi listrik yang lebih sedikit. Komputer di perkantoran, cenderung menjadi perangkat sentral yang diaktifkan dalam waktu yang lama, jika tidak bisa dikatakan terus-menerus. Setting komputer Anda ke dalam mode hemat energi. Dan, cobalah teknik-teknik lain untuk menghemat energi. Misalkan, mengganti komputer yang menggunakan power supply besar dengan laptop yang relatif kecil.
Manajemen Kertas

Minimalkan penggunaan kertas. Manajemen penggunaaan kertas perlu dibuat. Contohnya, dengan membeli kertas daur ulang untuk pencetakkan proposal. Untuk print test, gunakan kertas yang sudah tidak terpakai. Jangan langsung membuang kertas-kertas yang double side, yang salah satunya masih kosong. Dengan demikian, halaman itu bisa digunakan untuk cetak uji coba. Jika sudah fix, barulah cetak menggunakan kertas daur ulang.



Rapat Online

Kegiatan meeting dapat meningkatkan volume pemakaian kendaraan di jalan-jalan umum. Jika memungkinkan, gunakan media komunikasi seperti konferensi online, chat, atau format lainnya. Cukup menyulitkan, memang. Namun, bila Anda berkomitmen untuk menolong planet ini dari kerusakan yang lebih besar, “menghijaukan” kantor Anda akan menjadi kegiatan yang penting. Pasti bisa diwujudkan. Selagi ada kemauan, pasti ada jalan, bukan?

ROMO MANGUN DAN SEBAGIAN KARYANYA






Wastu citra …



Tersirat sendi-sendi filsafat yang tercitra seperti puisi dalam karya Romo Mangun. Desain-desain bangunan (wastu) yang sederhana yang lebih memanusiakan manusia tetap berestetika (citra) dalam sentuhan tangan Romo Mangun.



Romo Mangun adalah seorang arsitek, budayawan, rohaniawan, praktisi, dan juga pendidik. Bernama asli Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Lahir di Ambarawa, Jawa Tengah, 1929. Sebagian besar karya-karya beliau adalah bangunan religius.





Wastu diambil dari kata “ vasthuvidya “, berasal dari bahasa jawa kuno yang berarti pemahaman hakikat, hal, perkara, kenyataan, norma, tolak ukur kesusilaan. Citra adalah keselarasan dengan kosmos, spiritual, dan bersifat transformasi.

Wastucitra tersirat dalam prinsip Romo Mangun dalam berarsitektur, antara lain :
Arsitektur nusantara (vernakular)
Sikap arsitek yang berpihak pada yang lemah
Keindahan pada waktu yang tepat

Tidak jarang Romo Mangun lebih sering melakukan perancangan di lapangan. Karena itulah perubahan sangat sering terjadi. Alasan beliau mengenai seringnya terjadi perubahan desain adalah, “ dunia berubah dengan sangat cepat”.

Yang membuat karya-karya Romo Mangun menjadi lebih bermakna adalah karena ada cerita di balik karya-karya itu…



Gereja

Bangunan gereja karyanya umumnya berdenah bujur sangkar, berbentuk pendopo terbuka tanpa dinding, dengan atap limas.

Prinsip Romo Mangun dalam berarsitektur yaitu: membangun serendah mungkin, dengan bahan bangunan seringan mungkin, memisahkan bangunan dengan fungsi berdikari yang bentuknya tidak majemuk.

1. Gereja St. Maria Assumpta, Klaten





Sebagian orang memaknai bentuk bangunan gereja ini sebagai “burung yang sedang membentangkan sayap”. Sebagian lagi juga melihat simbol-simbol pohon kehidupan pada relief dinding luarnya. Lebih jauh lagi ternyata kolom tengah adalah bagian dari saka guru (simbol jawa). Di dalamnya sangat banyak komponen bangunan dengan berbagai makna. Bangunan ini sungguh kaya dari segi bentuk dan pemaknaannya.





Pembangunan ini diawali dengan dibongkarnya gereja lama yang kemudian digunakan untuk membangun gereja Jombor.

Gedung gereja ini pun menjadi fenomena arsitektur sekaligus fenomena ekspressi rohani, sebuah gedung gereja besar yang menampilkan kesederhanaan, keakraban dan serba keterbukaan.



2. Gereja St. Maria Fatima, Sragen





Dibangun tahun 1965 oleh Y.B Mangunwijaya dengan inkulturasi jawa. Terlihat dari bentuk atap rumah joglo dan tiang-tiang yang menyimbolkan soko guru menjadikan bangunan gereja ini tampak kokoh. Tidak ada dinding masif pada bangunan ini, Romomangun berusaha menghadirkan suasana yang menyatu dengan ruang luar. Dinding batu alam menjadi latar belakang mimbar.



Plafon kayu yang divernis mendominasi ruang dalam dengan pola garis lurus dan mengerucut di puncak. Menyimbolkan kesatuan yang hakiki dalam peribadatan.

Kursi-kursi yang dirancang tanpa sandaran dimaksudkan agar orang-orang yang beribadah selalu fokus dan tidak mengantuk saat beribadah.

Ruangan begitu luas. Tiang-tiang hanya tampak pada sisi-sisi pinggir gereja untuk menciptakan kesatuan tanpa sekat.

Tidak perlu ada maintenance berkala pada bangunan ini.



Kawasan

1. Peziarahan Sendangsono, Muntilan, Jateng



Bangunan yang mendapat penghargaaan dari IAI AWARD tahun 1991. Penataan kompleks peziarahan sendangsono sangat menekankan aspek harmoni dengan alam. Bentuk bangunan yang tidak mewah dan tidak pula sederhana. Dengan memanfaatkan kontur alam yang cukup curam Romo Mangun menciptakan sebuah arsitektur yang menyatu dengan alam.







Pendidikan

Ketika merancang SD Mangunan, nalurinya sebagai pendidik yang prihatin pada pendidikan dasar di Indonesia dan punya pemihakan pada kelompok yang terpinggirkan juga ikut melibat.

1. SD Kanisius, Kalitirto, Berbah, Jogjakarta



SD Kanisius Mangunan ini merupakan SD alternatif yang mengadopsi home-schooling, menghadirkan sekolah sebagai rumah kedua. Bangunan sekolah beratap pelana memanjang berdampingan dengan asrama arita yang mirip dengan bangunan pada kampung Code dan Sendangsono. Konstruksi dari kayu dan bilik-bilik bambu, dengan atap seng pada bangunan sekolahnya. Sedangkan wisma atau asrama arita beratap genteng. Ciri bangunan Mangunwijaya pada bangunan ini adalah terdapatnya 6 tiang kolom dengan dimensi 2 x (3×3 m2). Pola desain sekolah yang bersahabat dengan lingkungan masyarakat sekitarnya tidak menimbulkan kesan kontradiktif.



Pola belajar dengan kurikulum baru 75% Kanisius Mangunan dan 25% kurikulum nasional. Guru dan murid saling komunikatif dan guru mengikuti pertumbuhan psikologis dari anak. Sehingga membuat pola ruang yang terbentuk di sekolah ini berbeda dengan sekolah pada umumnya. Pola tempat duduk merupakan pola diskusi kelompok berbentuk U, dimana guru berbaur sangat dekat dengan para murid.

Bangunan sekolah ini sangat sederhana sekali. Terdiri dari sekat-sekat ruang dari bilik dan papan kayu. Kuda-kuda kayu terekspose karena tidak tertutup adanya plafond. Ventilasi cukup lebar dan panjang. Ventilasi atau jendela terbuka keatas atau ke samping dengan engsel di tengah dan hampir membagi di tengah-tengah kusen, menyerupai sirip. Lantai ubin dengan tekstur atau cetakan yang mirip anyaman bilik bambu.



Rumah tinggal

1. Wisma Kuwera, Mrican, Yogyakarta



Karakteristik dinding pada wisma ini juga diwujudkan dengan adanya dualisme fungsi sebuah elemen arsitektural yang berbeda-beda. Pondasi dapat menjadi dinding, atap dapat menjadi dinding, langit-langit dapat menjadi dinding

Pada atap wisma ini tidak memakai kuda-kuda, hanya serangkaian usuk dan reng yang diapit oleh anyaman bambu sebagai plafond dan ‘eternit’ yang terbuat dari lembaran kubus berdimensi ±40×40 cm2. lembaran ‘eternit’ ini dipasang secara diagonal, menyerupai sisik ikan, pada bagian ujungnya dijepit oleh lembaran seng yang dilipat keluar pada ujung-ujungnya.

Wisma Kuwera (1986-1999), Jogjakarta, dikenal sebagai rumah kediaman Mangunwijaya yang cukup lama dihuni, dibangun secara bertahap atau lebih tepat disebut sebagai rumah tumbuh.

Ornamen ciri dari romo Mangun, sering di sebut tektonika.



Karakteristik dinding pada wisma ini juga diwujudkan dengan adanya dualisme fungsi sebuah elemen arsitektural yang berbeda-beda. Pondasi dapat menjadi dinding, atap dapat menjadi dinding, langit-langit dapat menjadi dinding

Pada atap wisma ini tidak memakai kuda-kuda, hanya serangkaian usuk dan reng yang diapit oleh anyaman bambu sebagai plafond dan ‘eternit’ yang terbuat dari lembaran kubus berdimensi ±40×40 cm2. lembaran ‘eternit’ ini dipasang secara diagonal, menyerupai sisik ikan, pada bagian ujungnya dijepit oleh lembaran seng yang dilipat keluar pada ujung-ujungnya.

Lantai ubin cetak dengan tekstur garis diagonal. Kasar dan terlihat sangat sederhana
Roaster dengan metode cetak beton, finishingnya masih terlihat karakter beton yang terkesan cair dan bisa dibentuk secara dinamis. Kesan dinding lebih ringan.

Finishing lantai dapur dari mozaik pecahan keramik. Dari sisa menjadi bernilai seni.
Bentuk jendela bulat dari kaca bening tanpa kusen bertengger diantara expose anyaman bata dan plesteran dinding. Kontras.



2. Rumah Arief Budiman, Salatiga



Lokalitas tampak pada fasad bangunan rumah ini. Atap limas yang terlihat curam didesain untuk mengantisipasi curah hujan yang tinggi dan tempias. Dinding dari bilik bambu yang tidak masif memungkinkan aliran udara yang lancar dari celah-celahnya.

Desain panggung tampak seperti bangunan rumah adat. Selain tidak merusak lahan dan kondisi tanah, juga untuk menghindari kelembaban udara yang berlebihan.



Detail arsitektur yang sederhana justru menjadi keindahan tersendiri pada rumah ini. Material yang digunakan oleh Y.B. Mangunwijaya adalah material yang mudah di dapat di Indonesia. Seperti bambu, kayu, batu alam. Detail arsitektur ikut bersahabat lewat karakteristiknya terhadap iklim di Indonesia.

Mangunwijaya mampu mengolah material alam menjadi satu kesatuan ke dalam desain arsitekturnya.



Material pada detail-detail bangunan ini sebagian besar terekspos. Dinding bata dibiarkan tanpa plesteran, balok dan plafon dibiarkan polos tanpa cat. Detail arsitektur dibuat sejujur mungkin oleh Ramamangun.









Sumber :

SEJARAH ARSITEKTUR DI INDONESIA

November 29th, 2012


Asitektur Indonesia terdiri dari klasik-tradisional, vernakular dan bangunan baru kontemporer. Arsitektur klasik-tradisional adalah bangunan yang dibangun oleh zaman kuno. Arsitektur vernakular juga bentuk lain dari arsitektur tradisional, terutama bangunan rumah hunian, dengan beberapa penyesuaian membangun oleh beberapa generasi ke generasi. Arsitektur Baru atau kontemporer lebih banyak menggunakan materi dan teknik konstruksi baru dan menerima pengaruh dari masa kolonial Belanda ke era pasca kemerdekaan. Pengenalan semen dan bahan-bahan modern lainnya dan pembangunan dengan pertumbuhan yang cepat telah menghasilkan hasil yang beragam.

Arsitektur Klasik Indonesia
Ciri khas arsitektur klasik Indonesia dapat dilihat paada bangunan candi dengan struktur menaranya. Candi Buddha dan Hindu dibangun dari batu, yang dibangun di atas tanah dengan cirikhas piramida dan dihiasi dengan relief. Secara simbolis, bangunan adalah sebagai representasi dari Gunung Meru yang legendaris, yang dalam mitologi Hindu-Buddha diidentifikasi sebagai kediaman para dewa. Candi Buddha Borobudur yang terkenal dari abad ke-9 dan Candi Prambanan bagi umat Hindu di Jawa Tengah juga dipenuhi dengan gagasan makro kosmos yang direpresentasiken dengan sebuah gunung. Di Asia Timur, walau dipengaruhi oleh budaya India, namun arsitektur Indonesia (nusantara) lebih mengedapankan elemen-elemen masyarakat lokal, dan lebih tepatnya dengan budaya petani.

Budaya Hindu paling tidak 10 abad telah mempengaruhi kebudayaan Indonesia sebelum pengaruh Islam datang. Peninggalan arsitektur klasik (Hindu-Buddha) di Indonesia sangat terbatas untuk beberapa puluhan candi kecuali Pulau Bali yang masih banyak karena faktor agama penduduk setempat.

Arsitektur vernakular di Indonesia
Arsitektur tradisional dan vernakular di Indonesia berasal dari dua sumber. Pertama adalah dari tradisi Hindu besar dibawa ke Indonesia dari India melalui Jawa. Yang kedua adalah arsitektur pribumi asli. Rumah-rumah vernakular yang kebanyakan ditemukan di daerah pedesaan dibangun dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti atap ilalang, bambu, anyaman bambu, kayu kelapa, dan batu. Bangunan adalah penyesuain sepenuhnya selaras dengan lingkungan sekitar. Rumah-rumah di pedalaman di Indonesia masih banyak yang menggunakan bambu, namun dengan seiring dengan proses modernisasi, bangunan-bangunan bambu ini sedikit demi sedikit diganti dengan bangunan dinding bata.
Arsitektur tradisional di Indonesia

Bangunan vernakular yang tertua di Indonesia saat ini tidak lebih dari sekitar 150 tahun usianya. Namun dari relief di dinding abad ke-9 di candi Borobudur di Jawa Tengah mengungkapkan bahwa ada hubungan erat dengan arsitektur rumah vernakular kontemporer yang ada saat ini. Arsitektur vernakular Indonesia juga mirip dengan yang dapat ditemukan di seluruh pulau-pulau di Asia Tenggara. Karakteristik utamanya adalah dengan digunakannya lantai yang ditinggikan (kecuali di Jawa), atap dengan kemiringan tinggi menyerupai pelana dan penggunaan material dari kayu dan bahan organik tahan lama lainnya.
Pengaruh Islam dalam Arsitektur
Budaya Islam di Indonesia dimulai pada tahun 13 Masehi ketika di Sumatra bagian utara muncul kerajaan Islam Pasai di 1292. Dua setengah abad kemudian bersama-sama juga dengan orang-orang Eropa, Islam datang ke Jawa. Islam tidak menyebar ke kawasan Indonesia oleh kekuatan politik seperti di India atau Turki namun lebih melalui penyebaran budaya. Budaya Islam pada arsitektur Indonesia dapat dijumpai di masjid-masjid, istana, dan bangunan makam.
Menurunnya kekuatan kerajaan Hindu Majapahit di Jawa menandai bergantinya periode sejarah di Jawa. Kebudayaan Majapahit tersebut meninggalkan kebesarannya dengan dengan serangkaian candi-candi monumental sampai abad keempat belas. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa “Zaman Klasik” di Jawa ini kemudian diganti dengan zaman “biadab” dan juga bukanlah awal dari “Abad Kegelapan”. Selanjutnya kerajaan-kerajaan Islam melanjutkan budaya lama Majapahit yang mereka adopsi secara jenius. “New Era” selanjutnya menghasilkan ikon penting seperti masjid-masjid di Demak, Kudus dan Banten pada abad keenam belas. Juga dengan situs makam Imogiri dan istana-istana Yogyakarta dan Surakarta pada abad kedelapan belas. Fakta sejarah menunjukkan bahwa Islam tidak memperkenalkan bentuk-bentuk fisik baru dan ajaran-ajarannyapun diajarkan lebih dalam cara-cara mistis oleh para sufi, atau dengan kata lain melalui sinkretisme, sayangnya hal inilah yang mempengaruhi ‘gagal’nya Islam sebagai sebuah sistem baru yang benar-benar tidak menghapuskan warisan Hindu ( lihat Prijotomo, 1988).
Masjid Kudus dengan Gaya Hindu untuk Drum Tower dan Gerbang

Penyebaran Islam secara bertahap di kawasan Indonesia dari abad ke-12 dan seterusnya dengan memperkenalkan serangkaian penting pengaruh arsitektur. Namun, perubahan dari gaya lama ke baru yang lebih bersifat ideologis baru kemudian teknologi. Kedatangan Islam tidak mengarah pada pengenalan bangunan yang sama sekali baru, melainkan melihat dan menyesuaikan bentuk-bentuk arsitektur yang ada, yang diciptakan kembali atau ditafsirkan kembali sesuai persyaratan dalam Islam. Menara Kudus, di Jawa Tengah, adalah contoh dalam kasus ini. Bangunan ini sangat mirip dengan candi dari abad ke-14 di era kerajaan Majapahit, menara ini diadaptasi untuk kepentingan yang lebih baru dibangun masjid setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Demikian pula, masjid-masjid di awal perkembangan Islam di Indonesia murni terinspirasi dari tradisi bangunan local yang ada di Jawa, dan tempat lain di Nusantara, dengan empat kolom utama yang mendukung atap tengahnya. Dalam kedua budaya ini empat kolom utama atau Saka Guru mempunyai makna simbolis.
Gaya Belanda dan Hindia Belanda
Pengaruh Barat di mulai jauh sebelum tahun 1509 ketika Marco Polo dari Venesia melintasi Nusantara di 1292 untuk kegiatan perdagangan. Sejak itu orang-orang Eropa berusaha untuk merebut kendali atas perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan. Portugis dan Spanyol, dan kemudian Belanda, memperkenalkan arsitektur mereka sendiri dengan cara awal tetap menggunakan berbagai elemen arsitektur Eropa, namun kemudian dapat beradaptasi dengan tradisi arsitektur lokal. Namun proses ini bukanlah sekadar satu arah: Belanda kemudian mengadopsi unsur-unsur arsitektur pribumi untuk menciptakan bentuk yang unik yang dikenal sebagai arsitektur kolonial Hindia Belanda. Belanda juga sadar dengan mengadopsi arsitektur dan budaya setempat kedalam arsitektur tropis baru mereka dengan menerapkan bentuk-bentuk tradisional ke dalam cara-cara modern termasuk bahan bangunan dan teknik konstruksi.
Gereja Blenduk dan Lawang Sewu bangunan, contoh dari arsitektur Belanda
Bangunan kolonial di Indonesia, terutama periode Belanda yang sangat panjang 1602 – 1945 ini sangat menarik untuk menjelajahi bagaimana silang budaya antara barat dan timur dalam bentuk bangunan, dan juga bagaimana Belanda mengembangkan aklimatisasi bangunan di daerah tropis. Menurut Sumalyo (1993), arsitektur kolonial Belanda di Indonesia adalah fenomena budaya unik yang pernah ditemukan di tempat lain maupun di tanah air mereka sendiri. Bangunan-bangunan tesebut adalah hasil dari budaya campuran kolonial dan budaya di Indonesia.
Perbedaan konsep Barat dan Indonesia ke dalam arsitektur adalah terletak pada korelasi antara bangunan dan manusianya. Arsitektur Barat adalah suatu totalitas konstruksi, sementara itu di Timur lebih bersifat subjektif, yang lebih memilih penampilan luar terutama façade depan. Kondisi alam antara sub-tropis Belanda dan tropis basah Indonesia juga merupakan pertimbangan utama bangunan Belanda di Indonesia.
Sebenarnya, Belanda tidak langsung menemukan bentuk yang tepat untuk bangunan mereka di awal perkembangannya di Indonesia. Selama awal kolonisasi Eropa awal abad 18, jenis bangunan empat musim secara langsung dicangkokkan Belanda ke iklim tropis Indonesia. Fasade datar tanpa beranda, jendela besar, atap dengan ventilasi kecil yang biasa terlihat di bagian tertua kota bertembok Belanda, juga digunakan seperti di Batavia lama (Widodo, J. dan YC. Wong 2002).
Menurut Sumintardja, (1978) VOC telah memilih Pulau Jawa sebagai pusat kegiatan perdagangan mereka dan bangunan pertama dibangun di Batavia sebagai benteng Batavia. Di dalam benteng, dibangun rumah untuk koloni, memiliki bentuk yang sederhana seperti rumah asli di awal tapi belakangan diganti dengan rumah gaya Barat (untuk kepentingan politis). Dinding batu bata rumah, mereka mengimpor bahan langsung dari Belanda dan juga dengan atap genteng dan interior furniture. Rumah-rumah yang menjadi tradisi pertama rumah-rumah tanpa halaman, dengan bentukan memanjang seperti di Belanda sendiri. Rumah-rumah ini ada dua lantai, sempit di façade tapi lebar dalam. Rumah tipe ini selanjutnya banyak digunakan oleh orang-orang cina setelah orang Belanda beralih dengan rumah-rumah besar dengan halaman luas. Rumah-rumah ini disebut sebagai bentuk landhuizen atau rumah tanpa beranda dalam periode awal, setelah mendapat aklimatisasi dengan iklim setempat, rumah-rumah ini dilengkapi dengan beranda depan yang besar seperti di aula pendapa pada bangunan vernakular Jawa.
Pada awalnya, rumah-rumah ini dibangun dengan dua lantai, setelah mengalami gempa dan juga untuk tujuan efisiensi, kemudian rumah-rumah ini dibangun hanya dalam satu lantai saja. Tetapi setelah harga tanah menjadi meningkat, rumah-rumah itu kembali dibangun dengan dua lantai lagi.
Penentuan desain arsitektur menjadi lebih formal dan ditingkatkan setelah pembentukan profesi Arsitek pertama di bawah Dinas Pekerjaan Umum (BOW) pada 1814-1930. Sekitar tahun 1920-an 1930-an, perdebatan tentang masalah identitas Indonesia dan karakter tropis sangat intensif, tidak hanya di kalangan akademis tetapi juga dalam praktek. Beberapa arsitek Belanda, seperti Thomas Karsten, Maclaine Pont, Thomas Nix, CP Wolf Schoemaker, dan banyak lainnya, terlibat dalam wacana sangat produktif baik dalam akademik dan praksis. Bagian yang paling menarik dalam perkembangan Arsitektur modern di Indonesia adalah periode sekitar 1930-an, ketika beberapa arsitek Belanda dan akademisi mengembangkan sebuah wacana baru yang dikenal sebagai “Indisch-Tropisch” yaitu gaya arsitektur dan urbanisme di Indonesia yang dipengaruhi Belanda
Tipologi dari arsitektur kolonial Belanda; hampir bangunan besar luar koridor yang memiliki fungsi ganda sebagai ruang perantara dan penyangga dari sinar matahari langsung dan lebih besar atap dengan kemiringan yang lebih tinggi dan kadang-kadang dibangun oleh dua lapis dengan ruang yang digunakan untuk ventilasi panas udara.
Arsitek-arsitek Belanda mempunyai pendekatan yang baik berkaitan dengan alam di mana bangunan ditempatkan. Kesadaran mereka dapat dilihat dari unsur konstruksi orang yang sangat sadar dengan alam. Dalam Sumalyo (1993,): Karsten pada tahun 1936 dilaporkan dalam artikel: “Semarangse kantoorgebouwen” atau Dua Office Building di Semarang Jawa Tengah:
1. Pada semua lantai pertama dan kedua, ditempatkan pintu, jendela, dan ventilasi yang lebar diantara dia rentang dua kolom. Ruangan untuk tiap lantai sangat tinggi; 5, 25 m di lantai pertama dan 5 m untuk lantai dua. Ruangan yang lebih tinggi, jendela dan ventilasi menjadi sistem yang baik untuk memungkinkan sirkulasi udara di atap, ada lubang ventilasi di dinding atas (di atas jendela)
2. Disamping lebar ruang yang lebih tinggi, koridor terbuka di sisi Barat dan Timur meliputi ruang utama dari sinar matahari langsung.
Ketika awal urbanisasi terjadi di Batavia (Jakarta), ada begitu banyak orang membangun vila mewah di sekitar kota. Gaya arsitekturnya yang klasik tapi beradaptasi dengan alam ditandai dengan banyak ventilasi, jendela dan koridor terbuka banyak dipakai sebagai pelindung dari sinar matahari langsung. Di Bandung, Villa Isolla adalah salah satu contoh arsitektur yang baik ini (oleh Schoemaker1933)
Villa Isolla, salah satu karya arsitektur Belanda di Indonesia
Arsitektur Kontemporer Indonesia
Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, bangunan modern mengambil alih Indonesia. Kondisi ini berlanjut ke tahun 1970-an dan 1980-an ketika pertumbuhan eknomi yang cepat Indonesia yang mengarah pada program-program pembangunan besar-besaran di setiap sector mulai dari skema rumah murah, pabrik-pabrik, bandara, pusat perbelanjaan dan gedung pencakar langit. Banyak proyek bergengsi yang dirancang oleh arsitek asing yang jarang diterapkan diri mereka untuk merancang secara khusus untuk konteks Indonesia. Seperti halnya kota-kota besar di dunia, terutama di Asia, sebagai korban dari globalisasi terlepas dari sejarah lokal, iklim dan orientasi budaya.
Rumah-rumah kontemporer di Indonesia
Arsitektur modern Indonesia umumnya mulai di sekitar tahun 50an dengan dominasi bentuk atap. Model bangunan era kolonial juga diperluas dengan teknik dan peralatan baru seperti konstruksi beton, AC, dan perangkat lift. Namun, sepuluh tahun setelah kemerdekaan, kondisi ekonomi di Indonesia belum cukup kuat. Sebagai akibat, bangunan yang kurang berkualitas terpaksa lahir. Semua itu sebagai upaya untuk menemukan arsitektur Indonesia modern, seperti halnya penggunaan bentuk atap joglo untuk bangunan modern.
Arsitektur perumahan berkembang luas pada tahun 1980-an ketika industri perumahan booming. Rumah pribadi dengan arsitektur yang unik banyak lahir tapi tidak dengan perumahan massal. Istilah rumah rakyat, rumah berkembang, prototipe rumah, rumah murah, rumah sederhana, dan rumah utama dikenal baik bagi masyarakat. Jenis ini dibangun dengan ide ruang minimal, rasional konstruksi dan non konvensional (Sumintardja, 1978)
Permasalahan untuk Arsitektur Indonesia
Gerakan-gerakan baru dalam arsitektur seperti Modernisme, Dekonstruksi, Postmodern, dll tampaknya juga diikuti di Indonesia terutama di Jawa. Namun, dalam kenyataannya, mereka menyerap dalam bentuk luar saja, bukan ide-ide dan proses berpikir itu sendiri. Jangan heran jika kemudian muncul pandangan yang dangkal; “Kotak-kotak adalah Modern, Kotak berjenjang adalah pasca Modern” (Atmadi, 1997). Arsitektur hanya hanya dilihat sebagai objek bukan sebagai lingkungan hidup.
Sumalyo, (1993) menyatakan bahwa pandangan umum arsitektur Barat: ‘Purism’, di mana untuk menunjuk Bentuk dan Fungsi, adalah berlawanan dengan konsep-konsep tradisi yang memiliki konteks dengan alam. Kartadiwirya, dalam Budihardjo (1989,) berpendapat, mengapa prinsip tropis ‘nusantara’ arsitektur jarang dipraktekkan di Indonesia adalah karena pemikiran dari proses perencanaan tidak pernah menjadi pemikiran. Mereka hanya hanya mengajarkan tentang perencanaan konvensional selama 35 tahun tanpa perubahan berarti sampai beberapa hari. Sayangnya hamper semua bahan pengajaran dalam arsitektur berasal dari cara berpikir Barat yang menurut Frick (1997) telah menghasilkan kelemahan arsitektur Indonesia. Dia juga menjelaskan bahwa Bahan menggunakan bangunan modern hanya karena alasan produksi massal yang lebih ‘Barat’ dan jauh dari tradisi setempat. Kondisi ini telah memicu penggunaan bahan yang tidak biasa dan tanpa kondisi lokal.

Blog Pribadi : http://rahmatarifin93.wordpress.com/

10 Arsitektur termegah peninggalan Belanda di Indonesia

Posted by yazidazhanzi on 01/01/2014 in umum


Berikut ini beberapa arsitektur peninggalan Belanda di Indonesia. Kalo suka bagi like dan sharenya ya:D

1. LAWANG SEWU



Lawang Sewu merupakan sebuah gedung di Semarang, Jawa Tengah yang merupakan kantor dari Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein.


Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).


angunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil)Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober – 19 Oktober 1945).

Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan Kidobutai, Jepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.

2. VILLA ISOLA


Villa Isola adalah bangunan villa yang terletak di kawasan pinggiran utara Kota Bandung. Berlokasi pada tanah tinggi, di sisi kiri jalan menuju Lembang(Jln. Setiabudhi), gedung ini dipakai oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Bandung, yang sekarang menjadi Universitas Pendidikan Indonesia-UPI). Villa Isola adalah salah satu bangunan bergaya arsitektur Art Deco yang banyak dijumpai di Bandung.

Villa Isola dibangun pada tahun 1933, milik seorang hartawan Belanda bernama Dominique Willem Berretty. Kemudian bangunan mewah yang dijadikan rumah tinggal ini dijual dan menjadi bagian dari Hotel Savoy Homann. Perkembangan selanjutnya, ia dijadikan Gedung IKIP (sekarang UPI) dan digunakan sebagai kantor rektorat.


Suatu publikasi khusus pada masa Hindia Belanda untuk villa ini ditulis oleh Ir. W. Leimei, seorang arsitek Belanda. Dalam publikasi ini, Leimei mengatakan bahwa di Batavia ketika urbanisasi mulai terjadi, banyak orang mendirikan villa di pinggiran kota dengan gaya arsitektur klasik tetapi selalu beradaptasi baik dengan alam dan ventilasi, jendela dan gang-gang yang berfungsi sebagai isolasi panas matahari. Hal ini juga dianut oleh Villa Isola di Bandung. Pada masa pendudukan Jepang, Gedung ini sempat digunakan sebagai kediaman sementara Jendral Hitoshi Imamura saat menjelangPerjanjian Kalijati dengan Pemerintah terakhir Hindia Belanda di Kalijati, Subang, Maret 1942. Gedung ini dibangun atas rancangan arsitek Belanda yang bekerja di Hindia Belanda Charles Prosper Wolff Schoemaker.

3. GERBANG AMSTERDAM


Gerbang Amsterdam (Belanda: Amsterdamsche Poort) disebut juga Pinangpoort (Gerbang Pinang) atau Kasteelpoort adalah gerbang sisa peninggalan benteng VOC semasa J.P. Coen. Pada pertengahan abad ke-19, gerbang ini merupakan sisa satu-satunya dari benteng yang dihancurkan dan mulai ditinggalkan semasa gubernur Jenderal HW Daendels. Gerbang ini pernah mengalami beberapa kali pemugaran. Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750) pernah merenovasi benteng bagian selatan termasuk gerbang Amsterdam dengan gaya Rococo.


Kemudian, sepeninggal Daendels, gerbang ini dipugar pada kurun waktu antara 1830 dan 1840. Patung dewa Mars dan dewi Minervaditambahkan pada gerbang ini. Kedua patung itu kemudian hilang semasa pendudukan Jepang di Indonesia. Bangunan ini dihancurkan seiring dengan mulai beroperasinya trem kereta kuda April 1869 di kawasan tersebut. Lokasi saat ini gerbang tersebut berada di persimpangan Jalan Cengkeh (Prinsenstraat), Jalan Tongkol (Kasteelweg), dan Jalan Nelayan Timur (Amsterdamschegracht) sekarang. Dalam rencana revitalisasi Kota Tua, replika gerbang ini akan dibuat walaupun tidak diketahui apakah akan berada di tapak yang sama

4. MUSEUM BANK MANDIRI


Berdiri tanggal 2 Oktober 1998. Museum yang menempati area seluas 10.039 m2 ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan.

Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dinasionalisasi pada tahun 1960 menjadi salah satu gedung kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. Kemudian bersamaan dengan lahirnya Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) pada 31 Desember 1968, gedung tersebut pun beralih menjadi kantor pusat Bank Export import (Bank Exim), hingga akhirnya legal merger Bank Exim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (1999), maka gedung tersebut pun menjadi asset Bank Mandiri.

5. MUSEUM NASIONAL



Cikal bakal museum ini lahir tahun 1778, tepatnya tanggal 24 April, pada saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. J.C.M. Radermacher, ketua perkumpulan, menyumbang sebuah gedung yang bertempat di Jalan Kalibesar beserta dengan koleksi buku dan benda-benda budaya yang nanti menjadi dasar untuk pendirian museum.

Di masa pemerintahan Inggris (1811-1816), Sir Thomas Stamford Raffles yang juga merupakan direktur dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen memerintahkan pembangunan gedung baru yang terletak di Jalan Majapahit No. 3. Gedung ini digunakan sebagai museum dan ruang pertemuan untuk Literary Society (dahulu bernama “Societeit de Harmonie”.) Lokasi gedung ini sekarang menjadi bagian dari kompleks Sekretariat Negara.

6. MUSEUM SENI RUPA DAN KERAMIK


Gedung yang dibangun pada 12 Januari 1870 itu awalnya digunakan oleh Pemerintah Hindia-Belanda untuk Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia). Saat pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan sekitar tahun1944, tempat itu dimanfaatkan oleh tentara KNIL dan selanjutnya untuk asrama militer TNI.

Pada 10 Januari 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bagian depan itu dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi. Tahun 1973-1976, gedung tersebut digunakan untuk Kantor Walikota Jakarta Barat dan baru setelah itu diresmikan oleh Presiden (saat itu) Soeharto sebagai Balai Seni Rupa Jakarta.

Pada 1990 bangunan itu akhirnya digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.

7. ISTANA BOGOR


Istana Bogor merupakan salah satu dari enam Istana Presiden Republik Indonesia yang mempunyai keunikan tersendiri dikarenakan aspek historis, kebudayaan, dan faunanya. Istana Bogor dahulu bernama Buitenzorg atau Sans Souci yang berarti “tanpa kekhawatiran”. Sejak tahun 1870 hingga 1942, Istana Bogor merupakan tempat kediaman resmi dari 38 Gubernur Jenderal Belanda dan satu orang Gubernur Jenderal Inggris. Istana Bogor dibangun pada bulan Agustus 1744 dan berbentuk tingkat tiga, dirancang oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Van Imhoff dari Belanda.

8. ISTANA MERDEKA JAKARTA


Istana yang awalnya bernama Istana Gambir, dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal J.W. van Lansberge tahun 1873. Istana yang diarsiteki Drossaers ini sempat menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember 1949. Kini Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan.

9. GEDUNG SATE


Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat. Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.

10. Museum Benteng Vredeburg yogyakarta




Museum Benteng Vredeburg adalah sebuah benteng yang dibangtn tahun 1765 oleh VOC di Yogyakarta selama masa kolonial VOC. Benteng ini dibangun oleh VOC sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan gubernur Belanda kala itu. Benteng berbentuk persegi ini mempunyai menara pantau di keempat sudutnya dan di dalamnya terdapat bangunan-bangunan rumah perwira, asrama prajurit, gudang logistik, gudang mesiu, rumah sakit prajurit dan rumah presiden.

Sumber: sebagian dari http://id.wikipedia.org

5 Gedung Arsitektur Bersejarah Di Indonesia



Bila membicarakan bangunan yang populer di Indonesia, Monas atau Borobudur mungkin merupakan bangunan pertama terlintas di benak Anda. Namun, tahukah Anda bahwa Indonesia memiliki banyak sekali gedung bersejarah yang terbilang indah, dari Sabang hingga Maurauke?

Selain memiliki nilai historis yang tinggi, gedung-gedung ini juga memiliki nilai arsitektur yang tinggi. Untuk itulah, Lamudiakan mengajak Anda untuk menelusuri satu per satu arsitektur bersejarah yang ada di Indonesia.


1. Istana Maimun


© Wikimedia Commons

Bangunan yang terletak di Medan, Sumatra Utara ini merupakan salah satu bangunan terindah di kota tersebut. Tidak hanya memiliki arsitektur yang unik, Anda juga akan diajak melihat kemegahan singgasana dari masa Eropa. Istana megah ini dibangun sekitar tahun 1888 dan merupakan warisan dari Sultan Deli Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah.


2. Benteng Fort Rotterdam

Menelusuri pulau Sulawesi, tepatnya di kota Makassar, Anda dapat menemukan sebuah benteng yang punya historis tinggi. Bangunan berarsitektur zaman Protugis ini dibangun oleh Sultan Gowa ke-9, pada tahun 1945. Awalnya, bangunan ini didirikan dengan tujuan untuk melindungi istana dari serangan Belanda. Namun, kini di kompleks tersebut, Anda bisa menemukan Museum La Galilo, yang menyimpan sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya di Sulawesi Selatan.


3. Lawang Sewu


© Wikimedia Commons

Dari Sulawesi, kita akan beranjak ke Jawa Tengah, tepatnya di Kota Semarang. Bangunan yang dikenal dengan seribu pintu ini merupakan peninggalan Belanda yang bergaya art deco . Dulunya, gedung yang digunakan sebagai kantor perusahaan kereta api Belanda berubah menjadi salah satu gedung yang dilindungi. Pasalnya, bangunan ini menjadi saksi sejarah Indonesia saat perang sengit di Semarang.


4. Gereja Bledug


© Wikimedia Commons

Bangunan yang didirikan sekitar tahun 1752 ini merupakan salah satu gereja tertua di Jawa Tengah yang masih terawat hingga sekarang. Dengan bentuk atapnya yang melengkung dan berwarna merah serta empat pilar kokoh di depannya, Anda akan diajak untuk menikmati keindahan bangunan tua bergaya masa kolonial ini.


5. Museum Fatahillah


© Wikimedia Commons








Bangunan yang berada di kompleks Kota Tua ini merupakan salah satu museum sejarah yang penting bagi Kota Jakarta. Sebelum menjadi museum barang antik dari zaman Belanda, prastasi dan arca, Museum Fatahillah digunakan sebagai balai kota, pengadilan sekaligus penjara bawah tanah yang mengerikan. Di kompleks bangunan berasitektur Belanda ini, Anda juga dapat melihat meriam sijagur yang melambangkan kesuburuan, seberat 3,5 ton dan mempunyai panjang lebih 3 meter.